Konflik Antara Masyarakat Adat dan PT. BRM Memanas Tokoh Adat Niniak Mamak Dipanggil Polda Sumbar

Dharmasraya, Sumbarjaya.com ~ Konflik antara masyarakat adat Durian Simpai–Koto Baru, Nagari Ampek Koto Dibawah, Kecamatan Sembilan Koto, Kabupaten Dharmasraya, memanas dengan P. BRM Estate terus bergulir. Belakangan, sejumlah pemangku adat dipanggil Polda Sumatera Barat (Sumbar) terkait laporan dari pihak perusahaan.

Surat panggilan dengan nomor B/676/V/RES.1.24/2025/Ditreskrimsus menyebutkan bahwa pemanggilan dilakukan dalam rangka penyelidikan dugaan pelanggaran Pasal 335 KUHP, tentang perbuatan tidak menyenangkan, terkait aksi penghentian aktivitas dan penggembokan akses perusahaan oleh masyarakat.

Salah satu tokoh adat Ninik Mamak, Aidil Fitri Dt. Panggulu Bosau, menyatakan siap memenuhi panggilan dan menghormati proses hukum.

“Sebagai warga negara yang taat hukum, kami akan hadir dan memberikan keterangan sesuai undangan dari Polda Sumbar,” ujarnya, didampingi Dt. Bagindo Rajo Lelo, tokoh adat lainnya, Minggu (18/5/2025).

Permasalahan ini, menurut masyarakat adat, berakar dari ketidakjelasan pelaksanaan kesepakatan antara PT. BRM dan masyarakat. 

Dalam nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani pada 13 Juni 2021, perusahaan disebut berkomitmen menyerahkan 20 persen dari 11.000 hektare lahan kepada masyarakat dalam bentuk kebun kehidupan. Namun hingga kini, titik koordinat dan pelaksanaan janji tersebut belum terealisasi.

“Masyarakat sudah berulangkali menyurati dan menemui pihak perusahaan, tetapi belum ada kejelasan hingga saat ini,” kata Dt. Panggulu Bosau.

Aksi masyarakat, termasuk penghentian sementara aktivitas perusahaan pada 10 Maret 2025, disebut sebagai bentuk protes dan upaya mendorong dialog terbuka. Namun PT BRM tetap melanjutkan operasionalnya, bahkan mendatangkan satuan pengamanan dari luar daerah.

Masyarakat adat menyayangkan minimnya respons dari Pemerintah Kabupaten Dharmasraya. Surat resmi tertanggal 24 Maret 2025 yang ditujukan kepada Bupati Dharmasraya, Anisa Suci Ramadani, menurut mereka, belum mendapatkan tanggapan hingga kini.

“Kami berharap pemerintah daerah hadir sebagai penengah dan memfasilitasi mediasi yang adil,” ujar Rahmad (43), warga Nagari Ampek Koto Dibawah.

Masyarakat berharap penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui dialog dan musyawarah, sesuai nilai-nilai hukum adat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka juga meminta agar semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, bertindak adil dan tidak berpihak. ( DN )
Gambar tema oleh Maliketh. Diberdayakan oleh Blogger.